Kekuatan Paskah
Minggu sore. Senja belum lagi tiba. Aku duduk di sebuah kafe, sendirian, sambil menyaksikan lalu lalang manusia. Bergerak entah ke mana. Sambil menghirup segelas kopi yang tersaji di depanku, aku mulai merenungkan persoalan-persoalan yang menghimpit jiwaku. Banyak, banyak masalah yang menanti untuk diselesaikan. Sementara jalan keluar seakan-akan buntu. Dengan gundah aku memandang jauh ke depan. Ke horison, persuaan langit dan laut, yang seakan tak berbatas. Langit biru jernih. Laut biru gelap. Dan matahari masih menampakkan kegarangannya. Membakar kulit.
Dengan perlahan aku menyadari kesendirianku di tempat ini. Kesendirianku di tengah lalu lalang manusia. Manusia-manusia yang bergerak entah kemana. Seakan tanpa tujuan. Tiba-tiba aku menyadari betapa kehidupan yang luas dan beragam ini, cuma sekedar satu alam kecil dalam pikiranku. Satu alam yang kadang terasing dari sekelilingnya. Seorang anak perempuan kecil, menggelajut di punggung ibunya sambil bermain-main dengan asyiknya. Aku memandang wanita itu. Wanita yang sedang duduk bersimpuh sambil menadahkan tangannya ke para pelintas yang nampak acuh tak acuh. Wajahnya yang muram dengan raut yang tak terpahami. Apa yang sedang dipikirkannya? Adakah dia sedang mengkhawatirkan hidupnya? Hutang-hutangnya yang tidak terbayar di tengah penghasilan sebagai pengemis yang tak tentu? Ataukah dia hanya sedih mengingat bahwa malam sudah hampir tiba, sementara nafkah untuk pembeli makanan malam ini belum juga cukup?

Seorang lelaki muda, berjalan dan melompati pagar pembatas trotoar. Tangannya menjinjing sebuah map lusuh. Wajahnya yang legam, akibat paparan sinar matahari, nampak tak terpahami juga. Apa yang sedang dipikirkannya? Kantor-kantor yang telah menolaknya dengan alasan tidak ada lowongan? Ataukah wajah istrinya atau orangtuanya di rumah yang sedang mengharapkan secercah cahaya bagi kehidupan mereka? Ataukah harapan untuk mempunyai sebuah rumah yang belum mampu dimilikinya sementara dia hanya mengharapkan sebuah lowongan sederhana dari selembar ijazah SMA yang telah usang? Apakah dia masih tetap mampu untuk terus berharap ataukah dia sedang merasa putus asa sehingga tak lagi bisa tersenyum?

Seorang perempuan muda, di atas becak yang dikayuh perlahan, sedang menangis? Mengapakah wanita itu menangis? Apakah dia sedang merindukan seseorang? Ataukah dia sedang sedih karena harus melakukan sesuatu yang tidak diingininya tetapi tak mungkin ditolaknya? Ataukah dia merasa hancur karena ditinggalkan begitu saja oleh pria yang disayanginya yang telah mengambil seluruh tubuh dan hidupnya? Atau dia sedang kecewa karena terpaksa menolak cinta seseorang, bukan karena dia tidak mencintainya, tetapi karena persoalan intern keluarga? Atau, jangan-jangan dia baru saja mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Atau hanya sedang kecewa karena apa yang diinginkannya gagal dilaksanakannya.

Dan pengendara becak itu, yang dengan keringat memenuhi dahinya, dengan nafas yang tersengal-sengal, apakah dia tidak memikirkan apa-apa? Ataukah dia sedang gembira karena memiliki penumpang yang nanti akan memberinya sekedar penghasilan untuk bertahan hidup sehari lagi? Tidak pedulikah dia pada wanita yang menangis di depannya? Ataukah dia bisa menyadari kesedihan wanita itu tetapi merasa tidak mampu untuk berbuat apa-apa karena hidupnya sendiri adalah kesedihan terus menerus? Anak Istri yang harus dibiayai untuk hidup. Untuk biaya sekolah anak-anak. Atau, jika dia masih bujangan, mungkin untuk ongkos rumah kontrakan atau rumah kost yang sampai saat ini belum terbayar. Sedang dia telah ditagih terus menerus. Dan dia belum sanggup membayarnya sebab penumpang lagi sepi.

Sebuah mobil melintas. Dikendarai oleh seorang wanita muda, matanya tertutup kacamata hitam, nampak sedang berbicara lewat telpon selularnya. Apa yang sedang dibicarakannya? Sebuah komunikasi yang nyaris putus? Ataukah sebuah proyek baru yang memberi harapan? Atau hanya instruksi kepada pembantu atau anak-anaknya di rumah? Wajahnya berkerut. Adakah dia tidak bahagia di atas kendaraannya yang bagus itu? Adakah dia sedang memikirkan perselingkuhan suaminya? Atau dia hanya mengkhawatirkan anak-anaknya yang harus diasuh oleh seorang baby-sitter sementara dia sendiri tidak punya waktu lagi untuk mereka karena pekerjaan yang sedang menumpuk? Ataukah dia hanya sekedar bergosip ria dengan temannya tentang perceraian sepasang selebritis? Atau mungkin pula dia sedang bernegoisasi dengan para kreditornya.

Aku memandang mereka. Aku memandang para pelalu-lalang di depanku. Dan tiba-tiba aku menyadari betapa banyak hal yang tidak kupahami. Dan tidak kukenali. Kehidupanku, di alam yang sedemikian luas ini, ternyata hanya sesempit diri dan pikiranku saja. Dengan masalah-masalahku, aku sering melupakan bahwa semua orang, siapapun dia, tidak mungkin hidup tanpa masalah. Bahwa mungkin, di sinilah terletak daya tarik kehidupan itu. Jika segala sesuatu dapat berjalan dengan lancar, jika semua keinginanku dapat terpenuhi dengan mudah, maka apakah artinya keinginan itu? Bukankah, saat aku berharap, artinya aku masih harus berusaha untuk memenuhi harapan itu? Dan dengan demikian, aku hidup tidak dengan kebosanan tetapi dengan keasyikan untuk memenuhi harapan itu?

Minggu sore. Dari balik naungan sebuah kafe, di tepi pantai Losari, aku memandang ke lalu lalang puluhan atau ratusan manusia yang terus bergerak. Aku tidak lagi merasa sendiri dalam menjalani hidup ini. Walau masalah yang kumiliki, harus kuselesaikan sendiri, dan setiap insan memang harus mentuntaskan masalahnya sendiri, aku sadar bahwa aku bukan sendirian yang memiliki masalah. Aku hidup di dalam pikiranku, tetapi aku juga hidup di dalam alam raya yang luas ini sebagai bagian dari perjalanan panjang setiap insan untuk mengatasi dan menggunakan talenta-talentanya sendiri. Dengan upaya itulah, aku akan berguna bagi diriku. Dan aku dapat berguna bagi alam semesta. Tuhan menciptakan kita tidak untuk hanya mengeluhkan apa yang kita terima, tetapi untuk berjuang agar apa yang kita terima dapat kita ubah. Dapat kita perbaiki. Dapat kita jaga. Dan dengan demikian, hidup inipun akan punya makna. Kita bisa bersedih, tetapi pantang untuk menyerah kalah. Tuhan tidak menciptakan kita, lewat perantaraan orangtua kita, hanya untuk gagal. Sebab penciptaan kita sendiri berdasarkan pada gambaranNYA dan bagiNYA, semua itu baik adanya. Baik bagi Dia. Baik bagi kita. Baik bagi seluruh isi alam raya ini. Maka mengapa kita harus merasa gagal dan mengalah?

Langit biru jernih. Beberapa ekor camar melayang lepas. Laut biru gelap. Beberapa perahu nelayan melaut. Jejeran palma. Insan-insan yang bergerak. Semuanya nampak indah. Semuanya nampak sempurna. Dan, walau masing-masing punya dunia sendiri dalam alam pikiran masing-masing, secara utuh, kita adalah insan yang dicintaiNYA. Maka mengapa takut untuk hidup? Toh, pada akhirnya, tubuh kita yang fana ini hanya sekedar daging dan tulang. Yang kelak, kapanpun Dia inginkan, dari debu akan kembali kepada debu. Kita semua akan mengalami hal itu. Tetapi jelas, itu bukan suatu kekalahan. Malah awal dari kecemerlangan kita sebagai manusia. Sebab, kehidupan adalah Paskah. Maka setiap kekalahan akan menjadi kemenangan. Jangan takut untuk hidup. Jangan pernah takut. Dan jika hari akhir tiba, percayalah bahwa ada suatu dunia lain, yang jauh, jauh lebih indah akan menanti kita. Sebab, itulah hadiah bagi kita yang tidak pernah takluk. Yang tidak pernah berhenti untuk berupaya. Yang tidak pernah putus asa dengan hidup. Dan selalu yakin pada kekuatan Paskah. Kekuatan Paskah Tuhan kita. Senja belum lagi tiba.

Sumber: pondokrenungan.com
Baca Selengkapnya...
Labels: 0 comments |
Kasih
Suatu hari aku menghadiri kebaktian rohani di sebuah hotel bergengsi di kota ini. Aku terdesak diantara ratusan umat lainnya, merasakan jiwaku tersingkir, terasing di sudut sendirian. Maka ketika seseorang memulai khotbahnya dengan berapi-api di atas mimbar, bertutur mengenai penderitaan, kemiskinan, penyakit dan maut, pikiranku berkelana ke lokasi yang jauh dari keramaian itu. Kusaksikan wajah-wajah asing, wajah-wajah yang tak kukenali namun terasa akrab. Sementara aku berada di sini, terlindung dalam ruang mewah sejuk berpendingin udara, mereka terpuruk di balik sepi, menahan lapar di antara gubuk-gubuk kumuh berdinding karton dan tempelan kertas koran serta poster-poster lapuk. Adakah saat ini mereka juga sedang memikirkan Tuhan? Apakah mereka sedang merasakan kehadiranNya ketika perut mereka berkeruyukan dan udara panas menyengat? Dimanakah kita? Bisakah kita ikut menemaninya? Atau hanya Tuhan saja yang mendampinginya.

Maka kulihat seorang tua yang terbaring diam-diam. Ketika hidup berlangsung dalam suasana pesta, seorang diri dia pandangi cahaya lilin dan menghitung hari-harinya. Tiada apa selain sepi. Ia tertinggal seorang diri, terkucil dari hiruk pikuk massa yang demikian menggoda. Sebabnya hanya satu: Ia tua dan lumpuh. Bisakah kita ikut menemaninya? Atau hanya Tuhan saja yang mendampinginya.

Maka kulihat pula wajah seorang gadis paroh baya sedang duduk sendirian, menekur sambil menggerak-gerakkan kedua belah kakinya. Gadis yang tertinggal sendiri sebab usia telah melewatkan keceriaan masa remajanya, dan kini tanpa seorang teman pun menghadapi keganasan kanker payudara yang menderanya. Dia telah ditinggalkan masa lalunya dan sedang menghadapi kegetiran masa kini untuk menuju masa depan yang tak pasti. Dia pun sedang memandangi cahaya lilin yang berkedap-kedip dan sadar sebagaimana nyala lilin itu, usianya akan segera padam. Bisakah kita ikut menemaninya? Atau hanya Tuhan saja yang mendampinginya.

Maka kusaksikan juga seseorang yang asing, duduk beramai-ramai tetapi sendirian ditemani bergelas-gelas minuman beralkohol di dalam suatu ruang diskotik dengan irama musik yang berdentam-dentam cepat serta teriakan dan gerakan-gerakan histeris puluhan pasang insane. Mereka larut dalam bunyi. Tetapi sungguh nyata, sepi terasa membayang di wajah mereka, sepi yang menikam sukma, sepi yang ingin dilupakan dengan membaurkan diri ke dalam ketaksadaran tetapi menjadi ironi karena ternyata bahwa sepi di tengah kehiruk-pikukan terasa lebih menjerat daripada bersama keheningan. Mereka semua memburu ilusi. Bisakah kita ikut menemaninya? Ataukah hanya Tuhan saja yang ikut mendampingi mereka.

Maka membayang pula wajah bocah-bocah cilik yang bergentayangan di perempatan jalan: menjajakan koran, memainkan irama tanpa nada atau hanya sekedar menadahkan tangan. Bagi mereka, sehelai atau sekeping Rupiah lebih bermakna daripada khotbah yang panjang dan mendayu-dayu. Bagi mereka, hidup hanya upaya sehari tanpa kepastian masa depan. Bagi mereka, yah bagi mereka apakah makna hidup ini? Bisakah kita ikut menemaninya? Ataukah hanya Tuhan saja yang ikut mendampingi mereka.

Kembali ke tengah ruang mewah ini, di tengah khotbah yang kian bergelora, tiba-tiba aku merasa gundah. Merasa betapa bicara menjadi tak bermakna sama sekali. Karena tiap bicara hanya menghasilkan suara yang mengaum sia. Apakah gunanya jika hanya mulut yang sibuk berseru-seru sementara anggota tubuh lainnya hanya diam dan lumpuh. Tuhan, aku pikir, menunggu pekerjaan kita dan bukan tuturan kita. “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, Yaitu Iman, Pengharapan dan Kasih dan yang paling besar diantaranya ialah Kasih (I Korintus 13:13). Kasih yang baru bermakna jika kita berbuah dengan melayani sesama. Dengan berkarya dan bukan hanya bicara. Maka hidup sungguh sia bila kita hanya pandai bersilat lidah tetapi enggan bekerja.

Sumber: pondokrenungan.com
Baca Selengkapnya...
Labels: 0 comments |
Antara Memberi dan Menerima
Memberi dan menerima bukanlah suatu tindakan yang asing. Semua manusia akan dengan mudah mengatakan bahwa kedua tindakan tersebut merupakan bagian integral dari aktivitas hidup manusia setiap hari, suatu aksi yang sekian spontan sehingga tak perlu membuang banyak waktu untuk berpikir tentangnya. Namun sesuatu yang amat biasa terkadang menuntut suatu pertimbangan yang lebih layak.

Tindakan memberi dan menerima sudah dipelajari seseorang sejak ia masih merupakan seorang bayi. Walau tanpa kesadaran, tindakan paling awal yang dilakukan seorang bayi adalah “menerima. Sang bayi menerima dan menghirup udara, ia menerima hidup dan situasi dunia yang sangat jauh berbeda dengan situasi “firdaus” yang dialaminya ketika ia masih dalam rahim ibu. Perbedaan kondisi hidup yang diterima sang bayi pada titik awal ini sering amat menakutkan. Karena itu sang bayi lalu menangis. Ia membutuhkan sesautu, ia membutuhkan perlindungan yang dengan segera diterimanya dari tindakan memberi dari seorang ibu. Semua yang dialami bayi pada tahap awal ini akan sangat berpengaruh bagi perkembangan hidupnya selanjutnya, bukan saja terbatas pada aksi memberi dan menerima, tetapi juga secara luas dalam keseluruhan aktivitas hidup sosialnya. Sang bayi belajar memberi dan menerima, dan menjadikannya sebagai aktivitas spontan hidup hariannya.

Antara kedua tindakan tersebut sulitlah untuk dibuat distinksi, sulitlah untuk dibuat prioritas tindakan manakah yang lebih penting dan harus didahulukan. Ada sekian banyak konteks yang harus turut dipertimbangkan untuk memberikan penekanan pada satu dari kedua aksi tersebut. Dalam dunia psikoterapi, yang juga amat menuntut keterlibatan kedua tindakan tersebut, “therapeutic acceptance” lebih banyak dipandang sebagai unsur penting dalam sebuah proses penyembuhan, lebih dari pada berbagai “technological medicine” lainnya. Kebanyakan klien yang mengalami goncangan psikologis melihat hidupnya amat tidak bernilai. Carl Gustav Jung, seorang psikiater terkenal asal Swiss, mengindikasikan bahwa sepertiga dari pasien yang datang kepadanya menderita kehampaan makna hidup (the meaninglessness of life). Hal ini bertolak dari ketidak-sanggupan klien untuk menemukan arti dari keberadaan dirinya sendiri, yang mencakup keseluruhan aspek personalitasnya.

Dalam situasi seperti ini, tindakan “menerima” yang diekspresikan sang psikiater akan melahirkan suatu pemahaman baru dalam diri klien. Dia akan menyadari bahwa dirinya ternyata masih memiliki sesuatu, bahwa ia masih memiliki kata-kata yang layak didengar, sekurang-kurangnya oleh ¡§dia¡¨ yang kini sedang berada di depannya. Adalah suatu kebahagiaan terbesar dalam hidup untuk menyadari bahwa saya masih layak didengarkan, masih layak diterima, masih layak dicintai dan mencintai. Dalam proses inilah si klien perlahan-lahan menemukan arti dirinya, dan inilah awal dari suatu proses penyembuhan.

Namun tindakan memberi dan menerima itu dapat pula dilihat dari sudut pandang yang lain. Oral Roberts dalam bukunya “Miracle of Seed-Faith” memberikan tekanan utama pada tindakan “memberi”. Tindakan memberi, apapun bentuknya baik material maupun rohaniah seperti pemberian kemampuan diri, bakat ataupun waktu bagi orang lain, ditempatkan Roberts sebagai benih-benih yang tertabur, yang pada baliknya akan bertumbuh dan memberikan panen yang berlimpah. Dalam Kitab Suci terdapat banyak kisah tentang hal ini. Pemberian lima buah roti dan dua ekor ikan bagi banyak orang di padang gurun ternyata menjadi benih iman untuk menghasilkan dua belas bakul roti. (Mat. 14, 13-21). Pemberian perahu oleh Simon Petrus untuk digunakan Yesus mengajar orang banyak tentang kabar gembira Kerajaan Allah, ternyata menjadi benih iman untuk menghasilkan banyak ikan. (Luk. 5, 1-11).

Di sini Oral Roberts menunjukkan bahwa tindakan kita untuk memberi tidak pernah berlangsung sia-sia, tetapi bahwa dalam tindakan tersebut baik si penerima maupun si pemberi sama-sama menerima “sesuatu”. Bahkan si pemberi menerimanya kembali dalam jumlah yang telah dipergandakan. Namun hal ini tidak dimaksudkan untuk memperkokoh paham jkuno “do ut des”, memberi untuk menerima kembali (saya memberi agar engkaupun memberi). Tetapi inilah kebenaran yang ditawarkan oleh Yesus sendiri, “Berilah maka kamu akan diberi.” (Luk 6, 38). Dan bahwa si pemberi akan menerima kembali sesuai ukuran yang dipakai dalam memberi kepada orang lain.

Begitulah... Sesuatu yang kita berikan akan diterima kembali. Yang terpenting adalah bahwa pemberian tersebut terjadi dalam konteks “benih iman” yang tertabur, yang menuntut keyakinan kita untuk menempatkan Allah sebagai pusat segalanya, yang akan mempergandakan pemberian itu dan melimpahkannya kembali kepada si pemberi dalam bentuk dan sarana yang tak dipahami manusia. Kita bersatu bersama Petrus yang bertanya kepada Yesus bahwa ia telah memberikan segala sesuatu tetapi apa upah yang akan diperoleh?? Yesus menjawab “...kamu akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.” (Mat. 19, 29).

Sumber: Pondokrenungan.com
Baca Selengkapnya...
Labels: 0 comments |
Abu dan Pertobatan
Puasa dimulai hari Rabu abu ini dengan penerimaan abu yang merupakan suatu tanda pertobatan yang bersifat komunal. Di seluruh dunia setiap orang katolik menerima abu di dahinya sebagai ungkapan kesediaan mereka untuk memulai saat pertobatan. Abu yang telah kita terima di dahi itu tak dapat disembunyikan seperti halnya saat kita menerima suntikan, di mana setelah disuntik kita bisa menutupinya dengan menurunkan kembali lengan baju. Abu diberikan di dahi dan karenanya semua orang bisa melihatnya dengan mudah.

Di hari Rabu abu kita tidak datang menerima abu di tangan dan secara sembunyi-sembunyi kita kembali lalu mengoleskannya di dahi. Dahi yang bersih saat kita datang kini ditaburi abu untuk bias dilihat secara jelas oleh semua orang tanpa mampu bersembunyi.

Tentu ketika kita keluar dari pintu gereja setelah menerima abu di dahi, kita mungkin akan merasa malu bahwa justru bagian diri kita yang biasanya dengan mudah dilihat orang kini dikotori. Apa lagi kalau kita berada di lingkungan yang mayoritasnya tak beriman sama seperti kita, yang tak mengenal dan tak memahami apa makna di balik kotornya dahi tersebut. Tapi justru inilah nilai rohani dari penerimaan abu, yakni bahwa kita secara terbuka dan dengan amat rendah hati berdiri di hadapan sesama dan berkata bahwa kita bukanlah manusia yang bersih. Kita adalah kaum pendosa. Kita butuh sesuatu yang melampaui kekuatan manusiawi kita, yakni kekuatan rahmat Allah untuk membebaskan kita dari keadaan kita saat ini, yakni membebaskan kita dari dosa-dosa kita.

Satu hal menarik saat kita menerima abu. Karena abu diurapi di dahi kita, maka amatlah mustahil bahwa kita bisa melihat secara langsung betapa kotoranya dahi kita. Kita hanya bisa melihatnya lewat cermin setelah kita kembali ke rumah. Namun kita bisa dengan amat mudah melihat kotornya dahi orang lain. Di sini orang lain seakan berdiri di depan kita dan menjadi cermin tempat kita melihat diri kita masing-masing. Dalam hidup nyata kitapun dapat dengan mudah melihat kekurangan, kelemahan serta keburukan orang lain. Kita sulit melihat dengan jelas kelemahan diri sendiri. Orang lain selalu salah sementara aku selalu berada di pihak yang benar. Namun di hari Rabu abu sesamaku adalah gambaran diriku. Sesamaku adalah cermin diriku. Aku melihat diriku yang penuh kelemahan melalui orang lain yang kini berada di depanku. Tak ada yang bisa kita katakan di saat itu kecuali bersama-sama berdiri di hadapan Tuhan dan mengakui bahwa kita adalah manusia lemah, manusia yang sering jatuh. Kita adalah manusia yang bersama-sama membutuhkan rahmat istimewa dari Tuhan agar bisa bangun lagi dan menjadi layak lagi disebut anak-anak pilihanNya.

Selamat memasuki masa puasa dan lebih lagi mari kita mulai bertobat.

Sumber: Pondokrenungan.com
Baca Selengkapnya...
Labels: 0 comments |