Kasih
Suatu hari aku menghadiri kebaktian rohani di sebuah hotel bergengsi di kota ini. Aku terdesak diantara ratusan umat lainnya, merasakan jiwaku tersingkir, terasing di sudut sendirian. Maka ketika seseorang memulai khotbahnya dengan berapi-api di atas mimbar, bertutur mengenai penderitaan, kemiskinan, penyakit dan maut, pikiranku berkelana ke lokasi yang jauh dari keramaian itu. Kusaksikan wajah-wajah asing, wajah-wajah yang tak kukenali namun terasa akrab. Sementara aku berada di sini, terlindung dalam ruang mewah sejuk berpendingin udara, mereka terpuruk di balik sepi, menahan lapar di antara gubuk-gubuk kumuh berdinding karton dan tempelan kertas koran serta poster-poster lapuk. Adakah saat ini mereka juga sedang memikirkan Tuhan? Apakah mereka sedang merasakan kehadiranNya ketika perut mereka berkeruyukan dan udara panas menyengat? Dimanakah kita? Bisakah kita ikut menemaninya? Atau hanya Tuhan saja yang mendampinginya.

Maka kulihat seorang tua yang terbaring diam-diam. Ketika hidup berlangsung dalam suasana pesta, seorang diri dia pandangi cahaya lilin dan menghitung hari-harinya. Tiada apa selain sepi. Ia tertinggal seorang diri, terkucil dari hiruk pikuk massa yang demikian menggoda. Sebabnya hanya satu: Ia tua dan lumpuh. Bisakah kita ikut menemaninya? Atau hanya Tuhan saja yang mendampinginya.

Maka kulihat pula wajah seorang gadis paroh baya sedang duduk sendirian, menekur sambil menggerak-gerakkan kedua belah kakinya. Gadis yang tertinggal sendiri sebab usia telah melewatkan keceriaan masa remajanya, dan kini tanpa seorang teman pun menghadapi keganasan kanker payudara yang menderanya. Dia telah ditinggalkan masa lalunya dan sedang menghadapi kegetiran masa kini untuk menuju masa depan yang tak pasti. Dia pun sedang memandangi cahaya lilin yang berkedap-kedip dan sadar sebagaimana nyala lilin itu, usianya akan segera padam. Bisakah kita ikut menemaninya? Atau hanya Tuhan saja yang mendampinginya.

Maka kusaksikan juga seseorang yang asing, duduk beramai-ramai tetapi sendirian ditemani bergelas-gelas minuman beralkohol di dalam suatu ruang diskotik dengan irama musik yang berdentam-dentam cepat serta teriakan dan gerakan-gerakan histeris puluhan pasang insane. Mereka larut dalam bunyi. Tetapi sungguh nyata, sepi terasa membayang di wajah mereka, sepi yang menikam sukma, sepi yang ingin dilupakan dengan membaurkan diri ke dalam ketaksadaran tetapi menjadi ironi karena ternyata bahwa sepi di tengah kehiruk-pikukan terasa lebih menjerat daripada bersama keheningan. Mereka semua memburu ilusi. Bisakah kita ikut menemaninya? Ataukah hanya Tuhan saja yang ikut mendampingi mereka.

Maka membayang pula wajah bocah-bocah cilik yang bergentayangan di perempatan jalan: menjajakan koran, memainkan irama tanpa nada atau hanya sekedar menadahkan tangan. Bagi mereka, sehelai atau sekeping Rupiah lebih bermakna daripada khotbah yang panjang dan mendayu-dayu. Bagi mereka, hidup hanya upaya sehari tanpa kepastian masa depan. Bagi mereka, yah bagi mereka apakah makna hidup ini? Bisakah kita ikut menemaninya? Ataukah hanya Tuhan saja yang ikut mendampingi mereka.

Kembali ke tengah ruang mewah ini, di tengah khotbah yang kian bergelora, tiba-tiba aku merasa gundah. Merasa betapa bicara menjadi tak bermakna sama sekali. Karena tiap bicara hanya menghasilkan suara yang mengaum sia. Apakah gunanya jika hanya mulut yang sibuk berseru-seru sementara anggota tubuh lainnya hanya diam dan lumpuh. Tuhan, aku pikir, menunggu pekerjaan kita dan bukan tuturan kita. “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, Yaitu Iman, Pengharapan dan Kasih dan yang paling besar diantaranya ialah Kasih (I Korintus 13:13). Kasih yang baru bermakna jika kita berbuah dengan melayani sesama. Dengan berkarya dan bukan hanya bicara. Maka hidup sungguh sia bila kita hanya pandai bersilat lidah tetapi enggan bekerja.

Sumber: pondokrenungan.com
Labels:
0 Responses