Aku Ingin Tidur
Aku Ingin Tidur

Di tengah kesejukan udara Prigen, aku membuka-buka lembaran misa hari minggu. Tiba-tiba mataku terpaku pada bacaan I. Dikisahkan Elia masuk padang gurun dan ingin mati saja "Cukuplah sudah! Sekarang ya Tuhan ambilah nyawaku, sebab aku tidak lebih baik dari nenek moyangku." Tapi malaekat memberinya roti dan air. Elia memakannya dan kembali tidur. Tapi malaekat memberi roti dan air lagi. Ini bekal baginya untuk melanjutkan perjalanan ke gunung Horeb. Makanan itu menjadi kekuatan bagi Elia untuk meneruskan perjalanan. Bacaan pertama habis sampai situ. Tapi jika melihat perikop selanjutnya, di gunung Horeb, Allah menyatakan diri pada Elia.

Bacaan ini merupakan jawaban Allah atas kegelisahanku. Aku gelisah dan putus asa, sehingga ingin menyatakan berhenti saja, meski belum separah Elia yang ingin mati saja. Aku ingin tidur. Ingin melupakan semua hal yang terjadi. Melupakan semua yang telah kulakukan selama ini. Aku tidak peduli lagi dengan apa yang sedang terjadi. Aku tidak ingin peduli lagi dengan teman-temanku. Apakah mereka akan terus mencuri atau berkelahi, bahkan membunuhpun aku tidak peduli. Toh mereka bukan apa-apaku. Bukan keluargaku atau umatku. Aku ingin menikmati mimpi-mimpiku di keheningan gurun. Menikmati kenyamanan kamarku dengan segala fasilitasnya yang ada. Menikmati hidupku sendiri. Tidak lagi dipusingkan oleh teman-teman yang membosankan dan menjengkelkan.

Tapi ternyata malaekat datang padaku. Dia tidak datang sendirian seperti yang dialami oleh Elia, melainkan mereka datang berbondong-bondong Para malaekat itu juga tidak hanya membawakan roti dan kendi berisi air, melainkan juga cambuk, lampu untuk penerangan dan tongkat serta kompas untuk menunjukan arah. Aku bersyukur di tengah kegalauan hati, aku punya banyak teman-teman yang baik. Mas Yoga, Suhu, Mang Ucup, Mas Gunawan, Kis, Mas AJS, Tnt, Mbah Bi, Luxi, Jenny, dan lain-lainnya yang dengan sepenuh hati memberikan pencerahan yang sangat berguna. Aku merasa mereka semua terlibat dalam pergulatanku dan merasakan kegelisahanku.

Para malaekat memberikan banyak bekal bagiku untuk meneruskan langkah menuju gunung Horeb. Aku saat ini tidak berharap terlalu muluk. Aku nggak peduli apakah perjalanaku ini akan sampai tempat dimana Allah menyatakan diri seperti yang dialami oleh Elia. Aku hanya ingin melanjutkan perjalanan entah sampai mana dan sampai kapan seperti Pak Tomo yang telah membangun rumah batunya dan tidak akan berhenti sampai kematian datang menjemputnya. Meski dia sendiri tidak tahu untuk apa rumah itu selanjutnya. Terima kasih Mas Yoga yang sudah mengingatkan saya pada Pak Tomo. Apakah ini suatu bentuk kefrustasian yang baru? Aku yakin bukan. Bahkan sebaliknya ini adalah suatu bentuk semangat baru.

Kusadar bahwa keputusaasanku disebabkan aku terlalu bodoh dan sombong. Aku ingin mengubah dunia. Benar kata Suhu bahwa memang kejahatan harus selalu ada supaya kebaikan itu menjadi nyata. Sama seperti Yesus yang mengatakan kemiskinan akan selalu ada padamu. Teman-temanku adalah orang miskin dalam berbagai hal. Mereka tidak hanya miskin tapi juga dimiskinkan dalam berbagai aspek dan oleh banyak faktor. Mengapa Yesus membiarkan kemiskinan selalu ada? Bukankah Dia bisa saja untuk menjadikan kemakmuran yang abadi? Jika semua orang menjadi kaya maka orang tidak lagi memiliki belas kasih untuk memberikan apa yang dia miliki bagi sesama. Adanya orang miskin membuat orang kaya senantiasa ditantang untuk berbelas kasih.

Dalam keheningan aku sadar bahwa banyak hal tidak bisa aku ubah. Mengapa aku memaksakan kehendakku sendiri untuk mengubah hal yang tidak bisa kuubah? Bukankan ini suatu kesombongan? Aku jadi ingat akan kata-kata yang tertulis dalam gambar tahbisanku, "Lord grant me the serenity, to accept the things, I cannot change..... Courage to change the things I can, and wisdom to know the difference" Jika mereka tidak bisa kuubah, maka akulah yang harus berubah. Aku harus menatap mereka secara baru. Aku harus menjalin pertemanan secara baru. Dan membiarkan kuasa Allah sendiri yang mengubahnya.

Setelah kurenungkan ternyata kegelisahanku bukan disebabkan karena teman-temanku yang tetap berbuat seenaknya, melainkan keegoisanku yang ingin dipuji orang bahwa aku telah mengubah mereka. Aku ingin dipuji orang bahwa aku sudah mampu mengubah seorang preman menjadi seorang yang baik. Aku ingin semua orang menatapku dengan bangga bahwa aku telah berbuat banyak hal kebaikan pada teman-teman sehingga mereka menjadi baik. Semuanya kembali padaku bukan kepada teman-teman. Inilah kesombonganku.

Kesombongan dan kebodohan inilah yang membuatku putus asa. Aku hidup dalam mimpi tentang teman-teman yang baik, padahal realitanya teman-teman itu memang begitu. Mereka suka minum minuman keras, berjudi, main pukul, bahkan bertindak keji yang lain. Dalam kenikmatan mimpi ternyata peristiwa Toreng menyadarkan aku akan realita sesungguhnya. Timbulah pemberontakan dan keputusaasaan. Syukurlah banyak malaekat datang dan memberiku banyak hal. Memberiku terang yang mendorongku untuk sadar akan mimpi-mimpi. Aku jadi ingat lagi dengan bukunya A de Mello. Beliau memang hebat.

Perjalanku masih panjang. Tantangan dan pergulatan diri pasti masih terus datang silih berganti. Tapi kini aku tidak takut, sebab aku yakin bahwa Tuhan akan selalu mengutus para malaekatNya datang padaku dan menemaniku sepanjang langkah peristiwa. Seperti malaekat yang menemani Tobia dalam mencari obat bagi bapanya. Akhirnya kuucapkan banyak terima kasih pada semuanya.

Sumber: Pondokrenungan.com

Labels:
0 Responses